Hukum ibadah haji dan umroh saat ini tidak wajib, bahkan pemborosan. Demikian tulisan pengajar komunikasi Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Ade Armando di Laman Madinaonline
Dalam tulisan bertajuk, 'Meninjau Kembali Hukum Wajib Haji Saat Ini' Ade Armando mengusulkan agar negara menyetop penyelenggaraan haji dan umroh. Sebab, biaya dari ibadah ini sejatinya bisa digunakan untuk negara yang berimpilkasi pada kesejhateraan rakyat.
Berikut tulisan lengkapnya:
Melalui tulisan ini saya hendak mengajak pembaca untukm empertimbangkan kembali kewajiban umat Islam untuk naik haji.
Sejak awal tulisan, saya perlu menyampaikan bahwa saya nanti akan beragumen bahwa apa yang disebut sebagai kewajiban naik haji saat ini seharusnya bisa ditinjau kembali mengingat kepentingan masyarakat luas. Bagi Anda yang merasa bahwa hukum naik haji itu tak bisa ditawar dan Anda akan marah bila ada orang berusaha mengutak-atiknya, sebaiknya Anda berhenti membaca tulisan ini. Saya tidak ingin menyakiti hati Anda. Jadi daripada nanti Anda naik darah, sebaiknya Anda tinggalkan saja tulisan ini.Saya menulis untuk orang yang masih percaya bahwa tidak ada hukum Islam yang kaku, absolut, dan tidak dapat ditafsirkan ulang. Saya tidak ingin mengatakan bahwa segala sesuatu itu relatif. Namun saya percaya bahwa sebuah hukum yang dipercaya sebagai kebenaran di masa lalu bisa saja dipertimbangkan kembali sesuai konteks keadaan. Sesuatu yang tampak baik dan logis di masa lalu di tempat tertentu bisa saja menjadi tampak merugikan dan tidak masuk akal di masa kemudian dan di tempat berbeda.
Sebagian pihak mengatakan bahwa ada hukum Islam yang bisa disesuaikan dengan keadaan zaman tapi ada hukum yang bersifat kekal. Contoh yang pertama adalah besaran warisan. Contoh yang kedua adalah kewajiban shalat, puasa, dan tentu saja haji.
Saya menganggap kalau apa yang disebut sebagai hukum Tuhan itu bisa ditinjau kembali, maka semua hukum Tuhan harus bisa dibicarakan kembali. Saya percaya bahwa Allah menurunkan kitab suci itu sebagai panduan yang harus terus-menerus dibaca dengan rasional, kritis, dan ditujukan untuk kemaslahatan bersama. Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir dan kemampuan berpikir itu yang harus kita gunakan untuk menafsirkan apa yang dikehendaki Tuhan.
Saya tentu saja bukan ulama. Namun saya percaya kalau ajaran dan hukum Islam memang diciptakan Allah, maka hukum dan ajaran itu seharusnya membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Bila ajaran agama ternyata justru berkonsentrasi hanya pada kepentingan individu atau justru merugikan masyarakat, kita harus ragukan apakah ajaran agama itu memang datang dari Allah.
Ini yang sekarang tampaknya terjadi dengan ibadah haji dan umrah. Dalam pandangan saya, yang bisa saja salah, pelaksanaan ibadah haji dan umrah di Indonesia tidak sejalan dengan upaya membangun kesejahteraan masyarakat miskin Indonesia.
Saya tahu bahwa dalam Al-Quran ada surah Ali Imran yang, antara lain, menyatakan bahwa: “… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan) semesta alam.” Saya juga tahu bahwa ada hadits yang menyatakan bahwa Islam dibangun atas lima perkara, dan salah satunya adalah naik haji.
Tapi itu tentu saja tak sendirinya berarti naik haji harus dilakukan umat Islam dengan mengabaikan konteks tempat dan waktu.
Naik haji adalah kewajiban bersyarat. Biasanya yang disebut adalah syarat ‘kalau mampu’. Namun sebenarnya penafsiran tentang ‘kalau mampu’ bisa menjadi sangat luas. Sebagai contoh, pertanyaan yang sering diajukan adalah: “Kalau seseorang memiliki dana cukup untuk naik haji tapi dia masih memiliki cicilan utang ke bank untuk membayar rumah atau masih memiliki anak yang biaya sekolahnya tinggi, apakah dia tetap wajib berangkat?”Begitu juga negara bisa membuat aturan-aturan yang membatasi haji, misalnya, syarat kesehatan. Seseorang yang berniat haji tapi dianggap tidak sehat bisa dilarang untuk berhaji, walaupun syarat ini tidak ada dalam Al-Quran dan hadits.
Contoh lain lagi: pemerintah Arab Saudi berhak membatasi kuota haji Indonesia. Alasan utamanya adalah untuk mencegah jangan sampai jumlah jamaah haji terlampau banyak sehingga mengganggu proses pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Adakah aturan itu dalam Al-Quran dan hadits? Tentu tidak ada. Salahkah pemerintah Saudi? Tentu juga tidak. Yang penting pelarangan itu dilakukan dengan tujuan kepentingan masyarakat luas dan kepentingan jamaah haji itu sendiri.
Yang ingin saya tunjukkan dengan contoh-contoh itu adalah memang sangat terbuka kesempatan kita untuk menafsirkan ulang kewajiban berhaji.
Dalam kasus Indonesia saat ini, praktik haji dan umrah yang dilakukan terkesan menghabiskan dana yang sangat besar yang sebenarnya bisa digunakan untuk kepentingan membangun kesejahteraan masyarakat.
Kita gunakan saja sebuah kalkulasi minimalis. Untuk naik haji, uang minimal yang harus dikeluarkan seorang calon haji adalah sekitar 40 juta rupiah. Ini dengan perhitungan ongkos naik haji pada 2015 adalah Rp 36 juta. Jumlah jamaah haji Indonesia tahun 2015 adalah 168 ribu orang. Dengan demikian, dana total yang dikeluarkan untuk ibadah haji pada 2015 adalah Rp 6,720 triliun. Itu dengan tidak memperhitungkan ONH plus.Lantas untuk umrah, biaya minimalnya per-orang adalah sekitar Rp 25 juta. Jumlah peserta umrah Indonesia pada 2015 diperkirakan 700 ribu jamaah. Dengan demikian dana total yang dikeluarkan untuk umrah adalah Rp 17,5 triliun.
Jadi, dengan perhitungan minimalis saja, uang yang terserap untuk kegiatan haji dan umrah per-tahun adalah sekitar Rp 6,7 triliun plus Rp 17,5 triliun, yakni sekitar Rp 24 triliun. Kalau sekarang kita tambahkan lagi angka itu dengan belanja jamaah selama di tanah suci, plus biaya ONH plus dan perjalanan wisata maka tidak berlebihan kalau angka itu melonjak menjadi sekitar Rp 30 triliun.
Pertanyaannya, kalau dana itu digunakan untuk keperluan kesejahteraan masyarakat Indonesia, apa yang bisa dilakukan dengan Rp 30 triliun?
Kita pakai contoh sederhana saja. Belanja pemerintah pusat untuk perumahan dan fasilitas umum pada 2015 adalah Rp 25,6 triliun. Atau untuk kesehatan adalah Rp 24,2 triliun. Itu semua bisa ditutup dengan uang haji.Kalau pembangunan rumah sederhana adalah Rp 50 juta, maka bisa dibangun 600 ribu rumah. Bila biaya renovasi sekolah mencapai Rp 200 juta per-sekolah, maka ada 150 ribu sekolah direnovasi. Bila pembetonan jalan selebar 7 meter adalah Rp 8 miliar per-kilometer, dengan dana haji satu tahun itu, bisa dibangun jalan beton 3750 km.
Ini semua memang sekadar simulasi. Namun apa yang ingin saya katakan, dana haji itu bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang jelas membawa efek berkelanjutan yang akan menyehatkan ekonomi Indonesia dan membantu kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kita harus ingat bahwa Indonesia bukan negara sejahtera. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan miskin pada September 2014 mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen dari penduduk Indonesia. Tapi tolong catat, itu yang hidup di bawah garis kemiskinan, alias harus hidup dengan pengeluaran Rp 312 ribu per-bulan (atau sekitar Rp 10 ribu per hari).
Adapun yang miskin jauh lebih besar dari itu. Menurut Bank Dunia, kalau perhitungannya adalah mereka yang berada dalam kelompok miskin (di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan), itu bisa mencapai 50 persen penduduk Indonesia.
Jadi kalau dana untuk haji dan umrah itu sedemikian raksasa sementara kaum miskin kita juga sedemikian besar, tidakkah logis kalau kita merelokasikan dana haji itu untuk membantu orang miskin?
Dan sikap ini adalah pilihan yang juga merujuk pada ayat-ayat Al-Quran serta hadits. Dalam Al-Quran berulang-ulang diingatkan kewajiban orang-orang yang beriman dan bertakwa untuk membantu anak yatim, orang miskin, orang yang meminta-minta, hamba sahaya (misalny,a Al-Baqarah: 177). Bahkan surah Al-Ma’un menggambarkan mereka yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, dan tidak menolong orang yang membutuhkan sebagai orang-orang ‘celaka’ yang ‘mendustakan hari pembalasan’. Dalam Al-Muddatsir (42-44), dinyatakan bahwa orang yang masuk ke neraka Saqar adalah mereka yang kikir, tidak memberi makan orang miskin dan tidak memuliakan anak yatim.
Bahkan ada sebuah hadits terkenal yang berbunyi: “Bukanlah dari kalangan orang yang beriman, apabila ia dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya dalam kelaparan.”
Dalam konteks Indonesia saat ini, membantu kaum miskin ini tentu saja tidak cukup dengan memberi sedekah secara perorangan. Yang diperlukan adalah upaya kolektif umat Islam untuk mengefektifkan dana yang mereka miliki untuk kepentingan masyarakat luas, terutama kaum miskin dan papa.
Karena itu kampanye yang harus dilakukan adalah bukan dorongan agar umat Islam menyegerakan naik haji tapi dorongan agar umat Islam menyumbangkan dana untuk membantu kaum miskin di lingkungan perumahan mereka, membantu pembangunan sarana publik, membantu kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang pro orang miskin, ikut mendanai pembangunan sekolah orang miskin, memberi beasiswa, membantu pembiayaan pelayanan kesehatan kaum miskin, menyumbang bagi LSM-LSM yang jelas-jelas membela kaum miskin, mendanai LSM atau gerakan anti-korupsi, mendanai gerakan pelayanan hukum bagi kaum papa, membantu koperasi tani agar mereka tidak terjerat lintah darat, dan sebagainya, dan sebagainya.
Apalagi dalam kondisi ekonomi nasional yang sulit sekarang ini, menjadi terlihat semakin tidak pantas bila umat Islam terus menghabiskan dana puluhan triliun untuk kepentingan ibadah personal. Umat Islam harus berhemat dan pandai-pandai memanfaatkan uang yang ada untuk kepentingan bersama. Membantu orang miskin itu bukan urusan negara, melainkan urusan kita semua.
Dalam konteks itulah, saya menganggap mungkin sebaiknya umat Islam saat ini tidak perlu menganggap naik haji sebagai kewajiban apalagi disertai dengan berumrah yang berkali-kali. Bila umat Islam mau, Indonesia bisa sejahtera. Ini kalau mau!
Sumber : Ade Armando : Haji dan Umroh Pemborosan Saja!
Tag : Smart Detox Synergy
EmoticonEmoticon